Pendahuluan
Manajemen strategis (strategic management) dapat dipahami sebagai proses
pemilihan dan penerapan strategi-strategi. Sedangkan strategi adalah pola alokasi sumber
daya yang memungkinkan organisasi-organisasi dapat mempertahankan kinerjanya.
(Barney, 1997:27). Strategi juga dapat diartikan sebagai keseluruhan rencana mengenai
penggunaan sumber daya-sumber daya untuk menciptakan suatu posisi menguntungkan.
(Grant, 1995:10). Dengan kata lain, manajamen strategis terlibat dengan pengembangan
dan implementasi strategi-strategi dalam kerangka pengembangan keunggulan bersaing.
Pertanyaan fundamental yang ingin dijawab oleh manajemen strategis adalah
“Apa itu keunggulan bersaing dan bagaimana keunggulan bersaing dapat dijelaskan?”
Dengan rumusan lain, “Apa yang membedakan organisasi berkinerja unggul dari yang
lainnya?” Lebih dari itu, manajemen strategis berkepentingan dengan penjelasan atas
pengembangan keunggulan bersaing berkelanjutan (sustainable competitive advantage,
SCA). Upaya-upaya menemukan penjelasan yang semakin memadai atas pertanyaanpertanyan
ini dihadapi oleh kalangan teoretisi dan praktisi di bidang manajemen strategis,
bukan saja di sektor bisnis, tetapi juga di sektor-sektor pemerintahan atau politik pada
umumnya dan kebudayaan. Semuanya ini bermuara pada upaya memenuhi kebutuhan
transformatif dari berbagai organisasi insansi, yaitu mewujudkan keberartian teleologis
organisasi-organisasi secara unggul dan berkelanjutan dalam kerangka kemajuan
masyarakat dan peradaban.
Manajemen strategis sektor bisnis telah berkembang melalui dua paradigma
utama berupa Market-based View (MBV) dan Efficiency-based View yang lebih sering
dikenal sebagai Resource-based View (RBV). Dialektika dari dua paradigma ini telah
berproses melalui fase tesis (MBV) dan anti tesis (RBV). Perkembangan ini telah
melahirkan fragmentasi dalam pendekatan-pendekatan, namun terdapat juga potensipotensi
dan kecenderungan ke arah integrasi atau sintesis.
Manajemen strategis berbasis kompetensi (Competence-based perspective)
merupakan salah satu pendekatan yang potensial bagi integrasi atau sintesis di antara
paradigma-paradigma dan aneka pendekatan dalam manajemen strategis. (Volberda &
3
Elfring, 2001).1 CBP menawarkan penjelasan yang lebih memadai atas SCA dalam
lingkungan masa kini yang penuh dengan perubahan atau turbulensi.
Ketidak-pastian dan turbulensi lingkungan organisasi dapat dikenali melalui
dimensi-dimensinya: kedinamisan, kompleksitas, serta kelangkaan sumber dayanya.
Volatilitas perubahan lingkungan cenderung makin tinggi dan kontributornya tidak
mudah diprediksi dengan tepat. Ketiga sektor kehidupan masyarakat dan institusiinstitusinya,
yaitu lingkup kebudayaan (spiritual-cultural sphere), perekonomian
(economic sphere), dan politik (political sphere) interdependen dan berinteraksi secara
dinamis sebagai suatu kesatuan yang utuh, sistemik, dan holistik meskipun masingmasing
sektor adalah otonom.2 Ketidak-pastian juga terjadi karena kelangkaan sumber
daya-sumber daya utama bagi penciptaan nilai tambah dan kompetisi dalam masyarakat
masa kini, yaitu pengetahuan (knowledge) atau kearifan (wisdom) dan perhatian.
Dalam kondisi dimana terjadi dominasi, yaitu adanya subordinasi antar-domain
atau antar-sektoral, antar-institusi dalam sektor yang sama, dan antar-level dalam
berbagai institusi yang sama, maka kondisi lingkungan organisasi dapat menjadi lebih
sederhana, mudah diprediksi, atau memiliki kepastian yang lebih tinggi. Pendekatan
analitis-linear yang menekankan sebab-akibat dapat menjelaskan dengan sempurna
situasi kompleksitas detail semacam ini. Ketidak-pastian lingkungan pun dengan mudah
dikelola melalui mekanisme hirarki. Akan tetapi, demokratisasi, peningkatan
kemakmuran, pengetahuan, dan kesadaran akan hak-hak azasi manusia (HAM)
cenderung menghadirkan kondisi kesetaraan, otonomi dan interdependensi sehat antarsektor
dan antar-institusi. Bahkan kondisi ini juga terjadi pada interaksi antar-level dalam
hirarki-hirarki, seperti ditunjukkan oleh hubungan antara kantor-kantor cabang dengan
kantor pusat perusahaan global, atau dalam hubungan antara pemerintah nasional dengan
pemerintah daerah di Indonesia saat ini. Semuanya itu semakin mencitrakan semangat
otonomi dan perimbangan kekuasaan antara pusat dan cabang atau daerah.
Interdependensi dinamis yang sistemik terjadi karena pada dasarnya masyarakat
adalah satu dan utuh, sedangkan dimensi-dimensi atau sektor-sektor yang ada pada
dasarnya terintegrasi menyangga keseluruhan masyarakat yang utuh dan tunggal dalam
seluruh proses perubahannya.3 Secara keseluruhan, organisasi-organisasi dewasa ini
menghadapi kompleksitas dinamis, bukan lagi kompleksitas detail. Dibutuhkan
manajemen strategis yang bersifat dinamis-integratif-sistemik-holistik.
Menurut Senge (1990), pengungkit (leverage) yang nyata bagi para manajer
dalam pengembangan strategi masa kini terletak pada pemahaman atas kompleksitas
dinamis. Pendekatan-pendekatan konvensional tidak lagi memadai.
… Sophisticated tools of forecasting and business analysis, as well as
strategic plans, usually fail to produce dramatic breakthroughs in managing
a business. They are all designed to handle the sort of complexity in which
there are many variables: detail complexity. But there are two types of
complexity. The second type is dynamic complexity, situations where cause
and effect are subtle, and where the effects over time of interventions are not
obvious. Conventional forecasting, planning, and analysis methods are not
equipped to deal with dynamic complexity. …. (Senge, 1990:71).
Perspektif berbasis-kompetensi dalam manajemen strategis yang berakar pada
RBV menunjukkan peningintegrasian dari pendekatan-pendakatan yang ada, sehingga
mampu memberikan penjelasan yang lebih sistemik dan holistik atas SCA. Selain itu, ia
menerapkan pendekatan yang dinamis, terutama karena perspektif ini merupakan
perluasan dari perspektif kapabilitas dinamis. Perluasan ini dapat ditemukan dalam karyakarya
Sanchez (2001), Sanchez & Heene (1997), Sanchez & Mahoney (1997, 2001),Mosakowski & McKlevy (1997), Christensen & Foss, (1997), Durand (1997), dan
Wilson (1999).
Perspektif kompetensi memperoleh perhatian luas bukan saja dari sektor swasta,
tetapi juga dari sektor publik. Naschold & Daley (1999), misalnya, mengemukakan
bahwa adopsi manajemen strategis oleh pemerintah, khususnya adopsi atas perspektif
berbasis-kompetensi adalah relevan dengan new public management, desentralisasi,
meningkatnya persaingan serta ketidak-pastian lingkungan. Dalam konteks modernisasi
pemerintahan daerah melalui manajemen strategis terpadu, mereka mengungkapkan
tantangan dari perspektif itu sebagai berikut.
The development of capability requires managers to create linkage
between overall goals and organizational details: structure, human
resources, financial and material resources, information resources, and
techniques/technologies. Private sektor management has recently begun to
acknowledge that these developmental decisions, in a constrainedresource
environment, must be guided by a vision of the core
competencies that give a firm its competitive advantage. This kind of
strategically guided development is a new challenge for local government.
(Naschold & Daley (1999:56).
Lebih lanjut, Naschold & Daley (1999) mengemukakan bahwa sektor
publik dapat belajar dari pengalaman sektor swasta.
The private sektor is years ahead of the public sektor in experience with
strategic management. Although the state of development varies among
firms, and the strategic management practices used differ considerably, it
is possible to gain lessons from private sektor experiences, particularly in
well-run multiproduct firms and concerns. (Naschold & Daley, 1999:56).
Tulisan ini mendiskusikan suatu penelusuran awal atas konsepsi tentang
manajemen strategis berbasis-kompetensi yang berkembang dalam sektor bisnis swasta.
Tinjauan dilakukan dengan memusatkan perhatian pada dua hal. Pertama, penjelasan atas
SCA menurut perspektif berbasis-kompetensi dalam manajemen strategis sebagai suatu
pengembangan dari perspektif sumber daya dan kapabilitas dinamis dari RBV. Di sini
dikemukakan tentang fragmentasi dalam manajemen strategis dan kecenderungan menuju
integrasi atau sintesis melalui perspektif berbasis-kompetensi. Kedua, pengembangan
kompetensi secara dinamis, sistemik, dan holistic sebagai strategi untuk membangun dan
6
mempertahankan kinerja serta SCA organisasi. Dalam hal ini dikemukakan tentang
model sistem terbuka yang menjelaskan integrasi antara organisasi dengan lingkungan
eksternal menurut CBSM, pengembangan kompetensi-kompetensi pada berbagai level
menurut pendekatan statis dan dinamis, dan ancaman-ancaman terhadap kompetensi
organisasi serta strategi melindungi atau mempertahankan kompetensi.
Paradigma Resource-Based (RBV): Dari Fragmentasi Menuju Integrasi
Manajemen strategis dan perspektif berbasis-kompetensi merupakan hasil evolusi
pemikiran dan praktek selama sekitar tujuh puluh tahun terakhir. (Naschold & Daley,
1999:56) mengemukakan, manajemen strategis pada industri-sektor swasta berkembang
melalui lima tahap, yaitu (1) tahap penganggaran, yang dimulai pada 1930-an; (2) tahap
perencanaan jangka-panjang, dimulai pada 1950-an; (3) tahap pengelompokan dalam unit
bisnis strategis, dimulai 1970-an; (4) tahap perencanaan strategis korporasi, dimulai pada
1980; dan (5) tahap manajemen strategis sejak 1985.
Evolusi manajemen strategis yang secara eksplisit menunjukkan dasar-dasar bagi
paradigma MBV dan RBV dikemukakan oleh Robert M. Grant Manajemen strategis dewasa ini memusatkan perhatian bagaimana perusahaanperusahaan
menghasilkan kinerja yang tinggi dan mempertahankan keunggulan
kompetitif yang berkelanjutan (sustainable competitive advantage, SCA). Kinerja dan
SCA itu, antara lain ditunjukkan oleh keunggulan dalam kualitas, produktivitas, dan
kemampu-labaan (profitablitas) dalam waktu yang lama. Dalam era yang penuh dengan
perubahan, kinerja dan SCA itu berkaitan dengan kemampuan yang lebih tinggi dalam
menghadapi perubahan (higher ability to cope with change), atau terciptanya apa yang
disebut oleh Arie de Geus (1997) sebagai the long-lived, living company.
Paradigma MBV dan efisiensi atau RBV pada titik tertentu merupakan tesis dan
antitesis yang sangat ketat dan menciptakan fragmentasi. Meskipun begitu, terdapat juga
dasar-dasar bagi integrasi, bahkan sintesis dari kedua paradigma tersebut, sebagaimana
dapat ditemukan pada perspektif kapabilitas dinamis dan perspektif kompetensi.
Beberapa ciri pokok yang secara mendasar membedakan RBV dari MBV
berkaitan dengan asumsi-asumsi tentang sumber keuntungan atau keberhasilan, kapasitas
jangka pendek untuk reorientasi-strategis, dan peran industri serta konsekuensinya pada
pusat perhatian dan unit analisis fundamental.Fragmentasi dalam manajemen strategis berkaitan dengan empat dimensi pokok,
yaitu (1) domain penyelidikan; (2) kontribusi dari disiplin-disiplin yang menjadi dasar
atau landasan berpikir; (3) pendekatan metodologis; dan (4) tujuan penyelidikan. (Elfring
& Volberda, 2001a).
MBV dominan selama era 1980-an, berakar pada structure-conduct-performance
(S-C-P) paradigm yang lasim dalam industrial organization (IO). Dua muaranya adalah
(1) pendekatan faktor-faktor persaingan dari Porter4 dan (2) pendekatan konflik strategis
(strategic conflict approach) atau contestable approach. (Teece et al., 1997).
Berakar pada ilmu ekonomi, model-model IO menganut empat asumsi tentang
kinerja dan SCA. Pertama, lingkungan eksternal memberikan tekanan-tekanan dan
kendala-kendala yang menentukan strategi, dan pada gilirannya menciptakan SCA.
Kedua, kebanyakan perusahaan dalam industri atau segmen industri tertentu
mengendalikan sumber daya strategis yang sama dan menempuh strategi yang sama
sesuai dengan sumber-sumber daya itu. Ketiga, sumber daya-sumber daya untuk
implementasi strategi memiliki mobilitas yang sangat tinggi di antara perusahaanperusahaan
sehingga perbedaan (sumber daya) antar-perusahaan hanya akan berumur
pendek. Dengan kata lain, ada homogenitas di antara perusahaan-perusahaan dalam
industri atau segmen yang sama. Keempat, pembuat keputusan organisasi diasumsikan
rational dan berkomitmen untuk bertindak demi kepentingan terbaik bagi perusahaan,
seperti ditunjukkan oleh perilaku maksimisasi-laba. (Hitt et al., 2001:21)
Pendekatan faktor-faktor persaingan menekankan tindakan-tindakan perusahaan
untuk menciptakan posisi yang dapat dipertahankan berhadapan dengan tekanan-tekanan persaingan. Perspektif ini memahami keuntungan atau keberhasilan sebagai hasil dari
keunggulan posisi (produk) di pasar.
Pendekatan konflik strategis berkaitan erat dengan pendekatan konflik strategis
dalam memusatkan perhatian pada ketidak-sempurnaan posisi di pasar, pencegahan dan
antisipasi pendatang baru (entry deterrence), serta interaksi strategis. Perspektif ini juga
memahami keuntungan atau keberhasilan sebagai hasil dari keunggulan posisi (produk)
di pasar. SCA ditempatkan sebagai hasil dari upaya-upaya mengimbangi pesaing-pesaing
melalui investasi strategis, strategi harga, signaling, dan pengendalian atas informasi.
Perspektif ini mengandalkan kapabilitas manajer dalam menerapkan game theory,
khususnya gerakan-gerakan strategis dan taktik-taktik Machiavellian. ”Plays and
counterplays” yang canggih menentukan keberhasilan. Sedangkan penciptaan dan
perlindungan intrapreneural perusahaan terabaikan. (Teece et al., 1997:511-513).
Kedua aliran MBV mengasumsikan bahwa kinerja organisasi terutama ditentukan
oleh ciri-ciri industri, termasuk skala ekonomis, hambatan masuk, diversifikasi,
diferensiasi produk, dan derajad konsentrasi industri. (Hitt et al., 2001:21). Industri
merupakan faktor eksogen: di luar dan melampaui pengendalian perusahaan, suatu
realitas empiris-obyektif, dan dihadapi secara rasional oleh para manajer. Jadi, kinerja
organisasi adalah fungsi dari industri atau kelompok-kelompok dalam industri. Kinerja
dan SCA dianalisis pada tingkat industri, bukan pada tingkat perusahaan.
RBV merupakan antitesis MBV dan popular sejak akhir 1980-an. Perspektif
efisiensi memiliki akar tradisi pada diskusi-diskusi mengenai kekuatan dan kelemahan
perusahaan. Efficiency-based strategic management menekankan pembentukan SCA
melalui pengembangan entrepreneurial rents yang bersumber pada keunggulan efisiensi
fundamental dalam perusahaan, serta proses-proses teknologis, organisasional, dan
manajerial dalam perusahaan. SCA pertama-tama adalah hasil internal wealth creation,
bukan oleh strategizing.5 (Lihat, Teece et al., 1997:509). Keberhasilan ditentukan oleh
aset-aset dan kapabilitas-kapabilitas idiosinkratik perusahaan. (Ginsberg, 1994).
Dua asumsi pokok yang secara mendasar membedakan RBV dari MBV, adalah
(1) heterogenitas sumber daya di antara perusahaan-perusahaan sebagai kumpulankumpulan
sumber daya produktif dengan proses berbeda-beda; dan (2) resource
immobility, karena mahalnya perolehan atau inelastisitas pemasokan banyak sumber
daya. Sumber daya-sumber daya yang menjadi basis SCA mencakup semua aset,
kapabilitas, kompetensi, proses-proses organisasi, atribut-atribut perusahaan, informasi,
pengetahuan, dsb yang dikuasai perusahaan dan dapat digunakan untuk melaksanakan
strategi secara efisien dan efektif. Pada umumnya sumber daya-sumber daya terbagi
dalam empat kelompok: aset finansial, fisik, SDM, dan organisasional. Sedangkan
kapabilitas mencakup atribut-atribut internal yang memungkinkan perusahaan
mengkoordinasikan dan mendaya-gunakan sumber daya-sumber daya lainnya. (Barney,
1997:142-144).
Sumber daya-sumber daya harus memenuhi kriteria VRIO agar menjadi basis
SCA: kemampuan sumber daya dalam merespons lingkungan (value); seberapa jauh
perusahaan-perusahaan lain memilikinya (rareness); kemudahan bagi perusahaan lain
untuk mendapatkannya secara mudah atau murah (imitability); dapat dieksploitasi karena
terdapat pengorganisasian yang memadai (organization). (Barney, 1997).
Hasil kajian Barney (1997:36-142) menemukan tiga penelitian tradisional yang
menjadi dasar paling penting bagi RBV. Pertama, penelitian tradisional tentang
kompetensi-kompetensi distingtif dari Selznick, 1957. Phillip Selznick menempatkan
general managers atau para pemimpin senior kelembagaan sebagai faktor kompetensi
distingtif organisasi. Selain pengambilan keputusan dan administrasi, mereka berperan
dalam menentukan visi dan struktur organisasi yang dapat memelihara nilai-nilai dan
identitas distingtif perusahaan.
Kedua, analisis ekonomi Ricardin dari Ricardo, 1817 dan Hirschleifer, 1980.
David Ricardo menekankan konsekuensi-konsekuensi ekonomis dari “original,
unaugmentable, and indestructible gifts of nature.” Faktor produksi berupa tanah, dan
selanjutnya SDM (manajer-manajer) adalah kekuatan dan kelemahan perusahaan.
Ketiga, teori pertumbuhan perusahaan dari Penrose, 1959. Edith Penrose
mengajukan pengertian perusahaan sebagai (1) suatu himpunan sumber daya produktif,
dan (2) kerangka kerja administratif yang menghubungkan dan mengkoordinasikan
11
kegiatan-kegiatan individu dan kelompok.6 Kontribusinya terhadap kekuatan dan
kelemahan perusahaan mencakup (1) heterogenitas sumber daya yang signifikan antara
perusahaan-perusahaan dalam satu industri;7 (2) adopsi definisi sumber daya produktif
yang lebih luas, termasuk tim manajerial, manajemen puncak, dan kewirausahaan; dan
(3) heterogenitas sumber daya dalam cakupan lebih luas.
Penrose menunjukkan bahwa perusahaan akan senantiasa bertumbuh atau tidak
berdiam diri ketika mencapai “posisi ekuilibrium.” Upaya-upaya baru diperlukan karena
persoalan-persoalan berikut:
Those arising from the familiar difficulties posed the indivisibility of resources;
those arising from the fact that the same resources can be used differently under
different circumstances, and in particular, in a “specialized” manner; and those
arising because in the ordinary process of operation and expansion new productive
services are continually being created. (Christensen & Foss, 1997:292).
Menurut resource-based perspective, determinan-determinan kinerja perusahaan
adalah kapabilitas-kapabilitas dan aset-aset yang spesifik-perusahaan, serta mekanismemekanisme
perlindungan posisi perusahaan. Termasuk di dalamnya adalah intangible
assets, seperti ketrampilan di bidang teknologi maupun manajerial (Teece et al., 1997).
Perspektif kapabilitas dinamis mengidentifikasi dimensi-dimensi dari kapabilitas
khas-perusahaan (firm-specific capabilities) yang dapat menjadi sumber keunggulan, dan
berupaya menjelaskan bagaimana kompetensi-kompetensi dan sumber daya-sumber daya
dapat dikembangkan, didayagunakan, dan dilindungi. Pemenang persaingan adalah
perusahaan-perusahaan yang menunjukkan ketanggapan tepat waktu, melakukan inovasi
secara cepat dan fleksibel, serta didukung oleh kapabilitas manajemen yang
mengkoordinasikan dan mendayagunakan kompetensi-kompetensi internal dan eksternal
secara efektif. (Teece et al., 1997:515).
Dengan istilah “dinamis”, Teece et al. (1997:515) memaksudkan kapasitas
memperbaharui kompetensi-kompetensi agar selalu kongruen dengan perubahan
lingkungan, teknologi, ketidak-pastian pasar, serta persaingan. Sedangkan “kapabilitas
dinamis” digunakan untuk menekankan peranan manajemen strategis dalam melakukan
adaptasi, integrasi, dan rekonfigurasi atas ketrampilan-ketrampilan organisasi dari luar
perusahaan dan sumber daya-sumber daya baik dari dalam maupun dari luar, serta
kompetensi-kompetensi fungsional untuk menanggapi lingkungan yang selalu berubah.
Collis (1994) mengemukakan tiga tingkatan kapabilitas, yakni kapabilitas statis,
kapabilitas dinamis, dan kapabilitas metafisik. Kapabilitas tipe pertama mencerminkan
kemampuan perusahaan untuk menjalankan kegiatan-kegiatan fungsional utama, seperti
tata letak pabrik, logistik, dan periklanan yang lebih efisien dari para pesaing. Sedangkan
kapabilitas dinamis berkaitan dengan pembaharuan dinamis atas aktivitas-aktivitas
perusahaan, atau kemampuan perusahaan untuk belajar, beradaptasi, berubah dan
melakukan pembaharuan terus-menerus. Sementara itu, kapabilitas metafisik berkaitan
dengan wawasan-wawasan strategis yang memungkinkan perusahaan memahami nilainilai
intrinsik dari sumber-sumber daya lain atau untuk mengembangkan strategi-stragei
bersaing yang baru. Pengakuan akan peranan kapabilitas dalam membangun SCA
membuka “kotak hitam” dalam menjelaskan efisiensi dari proses transformasi masukan
menjadi keluaran. Analisis efisiensi dalam pendekatan ekonomi lebih tertarik dengan
input-output, tanpa terlibat intensif dengan proses yang terjadi di dalam perusahaan.
Industri adalah faktor endogen bagi perusahaan: merupakan masukan dalam
pengembangan dan implementasi strategi. Bahkan, industri bisa dibentuk oleh
perusahaan yang memiliki kapabilitas istimewa. Contoh klasiknya adalah rontoknya
batas-batas industri komputer, elektronika, dan telekomunikasi karena pengaruh
Microsoft melalui keunggulan sistem-sistem komputer.
Kinerja perusahaan ditentukan oleh keunggulan kapabilitas sosio-kognitif
perusahaan, khususnya dalam berbagai tim pengembangan dan implementasi strategi.
(Ginsberg, 1994). Dua dimensi pokok dari kapabilitas sosio-kognitif adalah SDM
(kemampuan kognitif dan kompetensi-kompetensi sosial) dan sumber daya organisasi
(teknik pemetaan dan pemodelan, serta desain struktur organisasi dan insentif).
Kapabilitas sosio-kognitif organisasi menentukan pengembangan strategi. Keberhasilan
13
perusaahaan ditentukan oleh inteligensi tim mulai dari tahap penilaian atas situasi,
pemikiran strategis, pengambilan keputusan hingga implementasi strategi.
Mengikuti Collis, SCA menuntut pengembangan kapabilitas hingga kapabilitas
metafisik. Deskripsinya tentang metakapabilitas adalah sebagai berikut:
… we advance into the realm of what might be called meta-capabilities. The
capability that wins tomorrow is the capability to develop the capability that
innovates faster (or better), and so on. This capabilities might include
flexibility to shift between capabilities more efficiently or faster than
competitors …or the capability to respond to or initiate radical change …
so that under changing industry conditions a firm always focuses on the
capability which is most relevant at a point in time … Or perhaps it is the
capability to resolve the trade-offs among the organizational archetypes
better than competitors, …Or it is the capability to develop the capability to
identify valuable resources or market positions before competitors … Or
perhaps it is just the capability to innovate the innovation that innovates the
innovation that innovates … and so on ad infinitum. (Collis, 1994:148).
Tuntutan akan pengembangan terus-menerus atas (konsepsi) kapabilitas tingkat
tinggi itu bisa menjelaskan kehadiran dan relevansi perspektif-perspektif baru dari RBV,
seperti perspektif berbasis-kompetensi dan perspektif berbasis-pengetahuan.
Perspektif berbasis-kompetensi yang dikembangkan sebagai perluasan dari
perspektif-perspektif berbasis-sumber daya dan kapabilitas dinamis mengusung konsepkonsep
baru seperti kompetensi inti, sumber daya pengetahuan, sumber daya yang dapat
diakses di luar perusahaan (firm-addressable assets), pengembangan dan pendaya-gunaan
kompetensi (competence building and leveraging), dan persaingan berbasis-kompetensi.
Tabel 3 menunjukkan konsep-konsep kunci, isu-isu pokok, dan proposisi-proposisi
perspektif berbasis-kompetensi dan dua perspektif lebih awal dalam RBV.
oleh : Wilfridus B. Elu