From Continuous Improvement to Continuous Innovation

Kita sudah sering dengar dan akrab dengan terminologi “continuous improvement” atau “Kaizen” (dipopulerkan melalui buku yang ditulis oleh Masaaki dengan judul Kaizen: The Key to Japan’s Competitive Success) yang sangat konsekuen diterapkan, khususnya oleh perusahaan- perusahaan Jepang atau yang berbasis filosofi ini.

Continuous improvement (CI) dari konteksnya tentu saja merupakan sebuah proses dan merupakan bagian dari total quality management (TQM), yang sangat populer di era 90-an dalam rangka menuju quality excellence (QE). Sampai kapan pun continuous improvement (CI) diperlukan untuk dapat mempertahankan dan mengembangkan perusahaan.

Apa yang kita pikir terbaik hari ini belum tentu selamanya dianggap terbaik, demikian pula apa yang kita pikir terbaik secara internal merupakan terbaik secara eksternal. Kita tidak boleh cukup puas dengan kondisi “good” ataupun “better” namun harus “the best” karena konsumen akan selalu memilih yang terbaik (the best). Ada dua aspek yang memerlukan CI.

Pertama, produk atau layanan (lebih kuat, lebih ringan, lebih enak, lebih cepat, atau lebih lambat atau lainnya yang berkisar di antara lebih efektif dan/atau lebih efisien serta lebih fleksibel) yang merupakan output dari rangkaian proses konversi dari bahan baku menjadi produk jadi atau siap pakai. Kedua, proses.

Proses pada tingkat produksi maupun pada supply-chain (logistik) secara menyeluruh. Output sebagai hasil CI bukan saja bersifat kuantitatif yang dapat diukur namun juga bersifat kualitatifyangdapatdirasakan. Apa yang menjadi dasar dari CI? Pertama, mengacu kepada permintaan konsumen atau pemakai.

Kedua, mengacu kepada pesaing yang menjadi market leader jika perusahaan kita di tempat atau posisi kedua, ketiga, dan seterusnya, ataupun sebaliknya jika produk kita merupakan market leader, kita dapat mengacu kepada diri sendiri dengan melihat faktor kemampuan internal dan perubahan atau perkembangan yang terjadi di pasar, dan melakukan perbaikan.

Proses itu disebut benchmarking. Beberapa teknik yang biasa diterapkan antara lain brainstorming dan problem solving (antara lain fishb one diagram), yang merupakan peralatan standar dalam quality management. Banyak perusahaan yang enggan melakukan CI, dengan berbagai alasan dan motif.

Pertama, mereka berpikir bahwa untuk melakukan CI memerlukan biaya yang mahal dan belum tentu dapat kembali dalam jangka waktu singkat padahal pada kenyataannya tidak selalu demikian. Mahal mungkin namun menjadi relatif jika CI menghasilkan sebuah breakthrough (terobosan), sebuah inovasi apalagi yang dapat dipatenkan, maka biaya investasi CI akan kembali dalam waktu yang singkat.

Kedua, berpikir bahwa hasil yang dihasilkan CI tidak cukup mengangkat penjualan, dalam pengertian kenaikan penjualan tidak cukup signifikan karena pasar telah jenuh atau secara industri sedang declining, menurun tajam, satu dan lain mungkin karena teknologi telah berubah dari kuno yang serbalambat menjadi modern yang serbacepat, instan, dan kilat.

Ketiga, karena merasa diri sudah menjadi market leader,apalagi jenjang atau gap dengan nomor dua sangat jauh dan mendorong untuk berpikir melakukan CI sebuah kesiasiaan dan pemborosan. Statusquo sering kali menjadi faktor sebuah kemunduran jika dunia sekeliling kita berubah.

Continuous improvement, bukan hanya berupa proses seperti disinggung di atas, tetapi juga menjadi filosofi bahkan harus dijadikan bagian dari budaya perusahaan (corporate culture) yang berlaku dan diterapkan dari mulai tingkat pimpinan tertinggi, sampai tingkat operator di paling bawah atau di garis depan.

Dari uraian di atas maka yang perlu dipikirkan adalah bahwa CI tetap diperlukan bahkan merupakan sebuah keharusan jika kita ingin mempertahankan dan mengembangkan perusahaan dengan cara mempertahankan dan merebut pangsa pasar, namun CI harus lebih ditingkatkan dengan output yang merupakan sebuah inovasi, terobosan.

Walau CI sendiri cenderung bersifat evolusi namun dengan perkembangan teknologi tidaklah mustahil untuk menciptakan revolusi sementara kita melakukan proses CI. Pengetahuan, pelatihan dan teknologi serta budaya perusahaan akan memungkinkan kita memperoleh hasil yang maksimal melalui CI yang kita terapkan. Jangan sampai perusahaan Anda ketinggalan.

DR ELIEZER H HARDJO PH D, CM