Mencermati pergerakan Suku bunga

SEJAK tiga bulan terakhir ini, suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) sudah turun hingga menjadi 7,25%, dari 9,5% pada triwulan terakhir tahun 2008.

Kebijakan penurunan suku bunga yang dilakukan oleh BI dapat dijadikan sinyal bagi penurunan suku bunga simpanan bank-bank yang pada akhirnya berujung pada penurunan suku bunga kredit. Namun, faktanya, penurunan BI Rate tidak serta-merta membuat suku bunga simpanan langsung turun.

Penurunan suku bunga simpanan membutuhkan waktu. Akibatnya penurunan suku bunga kredit juga membutuhkan waktu penyesuaian yang relatif lama. Ada semacam gap yang lebar antara penurunan suku bunga simpanan dan suku bunga kredit. Muncul pertanyaan, mengapa suku bunga kredit tetap membandel untuk turun?

Padahal suku bunga dana sudah lama mengalami penurunan. Tidak terlalu rumit untuk menjawab pertanyaannya itu karena perbankan Indonesia sudah lama mengidap gap yang lebar antara suku bunga simpanan dan suku bunga kredit. Selama ini, perbankan Indonesia ditimbuni suku bunga dana jangka pendek yang mahal, sementara digunakan untuk kredit dalam jangka panjang.

Kerawanan akan terjadinya mismatch (ketidaksesuaian) juga relatif besar. Apalagi, dalam situasi krisis seperti sekarang ini tentu risiko mismatch likuiditas semakin besar. Namun, selain penyakit struktural likuiditas perbankan Indonesia yang mengakibatkan suku bunga kredit tidak bisa serta-merta mengikuti penurunan suku bunga simpanan, dalam konteks sekarang ini hal tersebut bisa dipengaruhi beberapa hal.

Pertama, pemerintah sendiri dalam hal menjaring dana lewat surat utang negara (SUN) pun masih memberikan yield (imbal hasil) yang relatif tinggi, yaitu sekitar 12%. Hal yang sama juga berlaku bagi obligasi pemerintah.

Hal itu bisa diterjemahkan bahwa pemerintah sendiri yang menginginkan suku bunga tinggi atau dalam bahasa sederhananya, pemerintah bersaing dengan bank-bank yang sama-sama dalam kondisi haus likuiditas akibat ekspansi kredit sebelumnya dan menyusutnya likuiditas global.

Kedua, nasabah masih menginginkan suku bunga simpanan yang relatif tinggi. Hal ini bisa terjadi karena instrumen-instrumen portofolio lain tidak menjanjikan tingkat keuntungan yang memadai. Keinginan nasabah itu masuk akal karena perbankan sedang terjadi segmentasi dan membutuhkan likuiditas --kendati sekarang ini kondisi likuiditas relatif membaik, khususnya bagi bank-bank yang dipersepsikan relatif sehat dan kuat.

Ketiga, tingkat persaingan bank-bank dalam memperebutkan dana pihak ketiga semakin ketat. Akibatnya, nasabah dengan mudah dapat saling mengadu antarbank --sehingga bank tunduk pada permintaan nasabah karena memang sedang membutuhkan likuiditas yang mendesak. Tingkat persaingan ini memengaruhi penurunan suku bunga.

Keempat, faktor risiko kredit yang semakin besar karena penurunan permintaan barang dan daya beli masyarakat. Tingginya risiko kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) ini dimasukkan dalam struktur suku bunga kredit. Akibatnya, suku bunga kredit pun juga tidak bisa secara langsung turun dalam tingkat yang diinginkan nasabah.

Kelima, karena tekanan krisis ternyata tidak mengubah target bank kepada pemegang saham. Artinya, bank-bank dipaksa untuk tetap memberikan keuntungan yang besar. Nah, dengan demikian perlambatan ekspansi ini mengganjal penurunan kredit karena bank-bank masih menginginkan net-interest margin (NIM) yang tinggi dengan harapan masih dapat memelihara tingkat keuntungan.

Itulah paling tidak lima faktor yang mengakibatkan suku bunga tetap bandel untuk turun. Perilaku lambatnya suku bunga ini sebenarnya juga pernah terjadi pada sebelum krisis dan menjadi ciri khas dari perbankan Indonesia. Hanya saja, penurunan suku bunga kredit perbankan sekarang ini terasa lama karena situasi krisis sedang mengimpit dunia usaha. Apalagi, Menteri Keuangan pun sudah memberi komando penurunan suku bunga kredit.

Namun memang urusan penurunan suku bunga bukan semata-mata urusan komando, tapi lebih banyak dipengaruhi kondisi tiap bank dan kelima faktor di atas. Penurunan suku bunga seharusnya bisa dilakukan dengan kombinasi banyak hal. Saat ini, kondisi likuiditas perbankan sudah membaik. Selain jumlah dana pihak ketiga di bank yang terus naik, tanda-tanda likuiditas yang membaik juga terlihat dari pulihnya transaksi pasar uang antarbank (PUAB).

Kondisi itu menggambarkan bahwa proses segmentasi perbankan mulai sedikit longgar. Artinya tingkat kepercayaan bank-bank terhadap bank yang dinilai kurang aman sudah mulai pulih. Hal yang sama juga terjadi pada nasabah terhadap bank-bank yang selama ini dinilai kurang sehat dan kurang kokoh. Harusnya situasi ketat likuiditas dapat menurunkan suku bunga.

Namun karena kondisi likuiditas tidak merata, persaingan dengan mengerek suku bunga diam-diam masih terus berlangsung. Faktor lain, menurut data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), mencatat jumlah dana simpanan masyarakat di perbankan selama Maret 2009 bertambah Rp14,39 triliun atau 0,81% ketimbang bulan sebelumnya menjadi Rp1.798,13 triliun.

Perkembangan dana pihak ketiga yang tidak sampai 1% ini menunjukkan bahwa tingkat perebutan dana pihak ketiga dengan produk investasi mulai ketat kembali. Kendati perkembangan suku bunga tumbuh tipis, hal itu tetap menggambarkan bahwa dana pihak ketiga masih berkembang. Hal tersebut terjadi karena banyak investor yang selama ini istirahat dari pasar modal untuk sementara dengan menyimpan dananya di perbankan kini kembali aktif di pasar modal.

Akibatnya, arus dana ke bank-bank sedikit tipis. Namun secara umum, jika memperhatikan data-data BI, kondisi ketat likuiditas mulai tidak ketat seperti pada akhir 2008 lalu. Nah, jika memperhatikan banyak faktor itu, sudah seharusnya penurunan suku bunga kredit tinggal menunggu hitungan hari.

Tidak ada faktor fundamental penting yang mengakibatkan bank-bank masih menahan suku bunga kredit. Penurunan suku bunga kredit dalam waktu dekat ini paling tidak bisa dilakukan karena selain mengurangi beban debitor, hal itu juga dapat meningkatkan kelangsungan hidup perbankan dalam jangka panjang. Tidak semua debitor bisa hidup dengan suku bunga tinggi seperti sekarang ini.

Untuk itu, nasabah yang demikian juga perlu diselamatkan dengan cara sedikit mengorbankan keuntungan bank. Langkah ini dilakukan dengan cara menurunkan suku bunga kredit dengan tujuan agar nasabah masih bisa bertahan hidup menjadi nasabah bank bersangkutan.

Jika tetap dikenakan suku bunga kredit tinggi, debitor akan mengalami kredit macet dan bank akan kehilangan nasabah. Dalam jangka pendek bisa saja bank untung besar, tapi dalam jangka panjang bank kehilangan nasabah. Untuk itu, penurunan suku bunga kredit bisa dimulai dengan kerelaan bank mengurangi keuntungannya.

Apalagi, pemerintah sekarang mulai mengurangi beban setoran dividen bagi bank-bank BUMN. Langkah penurunan suku bunga kredit bank-bank BUMN dapat menjadi pelopor bagi kelangsungan hidup debitor yang pada akhirnya dapat menekan risiko kredit macet dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.(*)

Serian Wijatno
Pengamat Perbankan